Pages

Rabu, 31 Juli 2013

Dating for Teenagers

I was a 16 years old when I wrote this, dan dapat dikatakan gue telah mengalami beberapa cerita kehidupan yang membuat gue belajar mengenai pacaran. Pacaran, bagi sebagian besar remaja hal ini lumrah dan maklum untuk dilakukan. Malah banyak yang mengatakan (termasuk gue) untuk mencoba mengeksplorasi diri lo ketika lo berada dalam situasi yang menuntut lo harus memiliki perhatian khusus kepada orang lain. Di sini gue gak akan menulis sesuatu yang bersifat persuatif, dalam artian mengajak kalian untuk sama sekali menolak pacaran. Tapi gue mencoba untuk memberi cerita dan mungkin perspektif gue. Gue bukan tipe orang yang ekstremis dan konservatif alias orang yang menganggap norma lama harus benar-benar dijaga utuh. No, gue malah menyarankan bagi lo-lo semua yang baca tulisan gue ini untuk terjun langsung serta merasakan manis, asam, asinnya pacaran because time changes, and so do the rules and norms. Rugi, kalau lo menyia-nyiakan kesempatan ini di kala produksi hormon lo sedang dalam puncaknya. Tapi satu hal yang harus lo ingat, dating basically is like a gamble. This could be amusing, this also at the same time could be a catastrophic disaster which leaves a giant hole of scar in your heart that you regret for the rest of your lives. But you’ll never know, right? That is why, I’m just going to express a little of my thoughts.
Fact : 22 of 31 students in my class are not in the state of “single”. That’s 72 percents! I mean, come on! Itu lebih dari setengahnya. Implementasi dari hal tersebut dapat diamati dari beberapa interaksi yang rutin dilakukan. Ketika jam istirahat di kelas gue, pasti ada satu atau dua anak yang kedatangan tamu. Dan tamu itu tak lain ialah pacar mereka dari kelas lain. Gak cuma itu beberapa dari mereka sibuk membalas tweet, sms, atau komentar gebetan yang kebetulan nimbrung begitu saja ketika mereka update di jejaring sosial. Buat yang cowok, ada yang sangat peka terhadap bel istirahat. Jadi waktu bel berbunyi, syaraf-syaraf mereka sudah terkoordinasi untuk segera melangkahkan kaki keluar dari kelas dan berlabuh ke kelas tempat sang biduan berada. Gue sebagai salah satu yang “vacant” Cuma bisa senyam-senyum sendiri melihat dinamika remaja saat ini. It’s good to have somebody who cares about you. It’s even better to have somebody who says : “You don’t need to change anything. I love you the way you are.” Well, kenyataan bahwa gue gak bisa mendapatkan keduanya untuk saat ini, tidak membuat gue kebakaran jenggot. Gue hampir telah menginjak tahun kedua di mana gue tidak memiliki hubungan spesial dengan siapapun. It doesn’t matter. I’m still capable to stand on my own two feet. I’m fine with this condition and the most important I am enjoying every single second of my heart’s vacancy. Gue merasa baik-baik saja dengan kehidupan dan keadaan gue. Namun seiring waktu bergulir, gue semakin heran kenapa pacaran di kaum remaja telah menjadi epidemi layaknya kolera di Afrika? Jawabannya cukup sederhana. Bayangin buat lo yang punya indung telur serta rahim, setiap lo istirahat, ada temen cewek lo dengan random-nya cerita tentang bagaimana hubungannya sukses setelah anniversary-nya yang kedua dengan si pujaan hatinya. Bukan sekali atau dua kali, tapi 6 hari dalam seminggu. Well, I know how it feels. At first yang ada di pikiran lo : “Ok, selamat yaaa!”. Hari kedua : “Hmmm, ya ya ya. Good to know that”. Hari kesepuluh : “Can you please shut up and save that story to those who are available to listen your Cinderella fairytale?”. Dan hari keduapuluh : “Screw you! I shall find a boy, a very very eligible, good, handsome boy! And my relation is going to be way more fantastic than yours!”
Itu kira-kira gambaran dari apa yang dipikirkan seorang cewek. Beda halnya dengan para cowok. Kita cenderung menerima informasi dan hanya menyampaikan pendapat serta komentar ketika diperlukan. Tapi kalau lo, para calon ayah setiap hari mendengar cerita yang sama dari teman lo, gue jamin lo juga akan end up thinking like apa yang cewek-cewek pikirin pada umumnya tadi. Bagi gue, itu hal yang halal dan asal tidak menimbulkan demoralisasi sosial. Sampai pada akhirnya temen deket cowok gue sendiri pun bilang ke gue : “Gas, taruhan yuk. Siapa yang duluan bisa dapetin cewek dalam waktu seminggu dari sekarang, bakal dibayarin makan di kantin selama sebulan sama yang kalah.” Dan gue instan memasang wajah “what the f**k have you just said?”. Gue cuma mlongo dan neuron ke cerebrum gue terjebak kemacetan parah bak jam pulang kerja di Bundaran Hotel Indonesia. Saat itu gue sontak agak lama menyadari kalau temen gue itu bener-bener serius hingga dia menjentikan jarinya di depan wajah gue yang masih mengernyitkan dahi. I’m still thinking, has dating in teenagers’ lives become a trend like Manolo Blahnik or Louboutin shoes for socialites? At that moment I couldn’t help but think why do you want to be in a relationship so easily that you don’t think of the possibility and probability of being neglected, dumped, and heartbroken?
Here’s the thing, di masa-masa remaja seperti yang gue sedang pijak, getting a true love is like hoping for the totality and hard work from anggota DPR RI. Perbandingan antara orang-orang yang bener-bener punya their true loves sama yang di kala putus bilang : “You’re a jerk” jelas lebih banyak yang kedua. Remaja cenderung berpacaran untuk menenangkan diri ketika mereka berada di dalam kelabilan. They and I are just want to be rescued. And that is why,untuk membunuh rasa penasaran gue, gue yang sebenarnya punya tugas membaca novel A Farewell to Arms oleh Ernest Hemingway, menyempatkan diri untuk berkeliling kelas menanyakan pertanyaan sederhana, namun kompleks : “Kenapa lo mau pacaran?”. Dan tentu gue tidak mengutarakan pertanyaan tersebut secara eksplisit. Adalah sangat tinggi kemungkinan gue mendapatkan jawaban : “Lu kok kepo sih sama urusan orang?” dengan raut muka kesal teman gue jika gue bertanya dengan cara tersebut. Gue sebisa mungkin mencoba untuk berbasa-basi sebagai pengantar. Setelah dua tiga hari, gue berhasil memperoleh jawaban dari ke-dua puluh dua orang teman sekelas gue yang berkekasih. Inilah beberapa di antara jawaban mereka :
“Saya sih cuma buat status doang, Gas. Ya, biar gak terlalu sendiri gitulah.”
Selanjutnya,
“Buat pengalamanlah , Gas. Gue pasti ngarepin gue sama cewek gue bakal langgeng sampai gue tua. Tapi kalau enggak, ya seenggaknya gue udah punya pengalaman buat gimana harus bertindak waktu pacar gue selanjutnya ngelakuin hal yang sama kaya mantan gue.”
An acceptable reason by the way. Next…
“Biar ada yang merhatiin. Jadi ada yang ngingetin buat mandi, makan, solat, sama belajar.”
Nah, alasan ini agak aneh buat gue. Bukannya semua itu masih termasuk dalam fungsi dari memo atau reminder di gadget kalian? Kalau itu hanya yang menjadi pondasi hubungan kalian, kenapa kalian harus menghabiskan sedemikian daya untuk meladeni sms, telpon, atau jalan sama dia? Dan uang serta tabungan kalian untuk pulsa, hadiah, traktiran, atau memperelok diri kalian padahal ada sesuatu yang lebih sederhana ketimbang menjalani pacaran dengan tujuan minta diingatkan? Okay, yang berikutnya…
“Untuk kebangganlah, Gas. Orang yang pacaran itu bisa dapetin pengakuan yang lebih daripada yang enggak”
WHAT? Untuk yang satu ini gue bener-bener tidak bisa menerima. Pernyataan dari temen gue tersebut seakan-akan menyiratkan bahwa kaum “single” adalah kaum dengan kusta pada abad pertengahan : tersingkir dan hina. Gue sempat adu mulut dengan teman gue yang satu ini, dan dia dengan mudahnya mengeluarkan argumen merendahkan bagi orang yang tidak berpacaran. Ya, I know Tuhan itu Mahaadil. Gak gue minta, ada tiga temen cewek di kelas gue yang membantah pernyataan tersebut. Gue langsung memperlihatkan muka “Yeah! Go on! Deal with girls!”. Debat antara satu cowok dengan satu cewek saja sangat besar dimenangkan oleh si cewek, apalagi debat antara satu cowok dengan tiga cewek. Yeah, we all know how it’s gonna be. The point is, we (the single ones) are human with feelings, conscious, and self integrity. We are not the dogs which lick the masters’ toes right after they go home. So, in this modern world, my friend, we are not necessary to jump into a relationship in order to gain a pride. You can now begin an observation in the development of HIV vaccine. That is nobler, and if you truly create it, you’ll get an extra Noble. See? We’re moving…
“Pacaran bagi gue itu sebuah kebutuhan, Gas. Kalau kamu tanya kenapa, ya gak tahu. Pokoknya itu udah jadi kebutuhan aja buat saya.”
THIS. This totally stopped me. Not only successfully jaw-dropped me, it really did make me shout “WHAT?”. Ini pernyataan yang lebih buat neuron gue macet untuk saling bertransmisi. Gue mendadak berubah menjadi patung cepot yang mangap selama hampir 5 detik. This was worse than the moment when my friend urged me to do a bet with him. Pacaran = Kebutuhan? What’s wrong with you? Isn’t there anything in the entire world to do besides having a relationship? Gue masih dapat menerima hal tersebut kalau mungkin pacaran termasuk ke dalam kebutuhan yang tidak terlalu diprioritaskan. Namun, gue mendapat jawaban yang lebih menakjubkan lagi kala gue bertanya seberapa pentingkah kebutuhan tersebut kepada teman gue. Lagi, gue tercengang saat dia mengatakan bahwa kebutuhan akan pacaran sama pentingnya dengan kebutuhan akan makan nasi setiap harinya. Gue gak habis pikir dengan hal ini. How come a relationship becomes so equal to your primary requirement of food for teenagers?
 Teman-teman pembaca yang masih harus merayu orang tua atau kakak lo untuk memberi uang jajan lebih atau bahkan yang masih dibangunkan pada pagi hari, let’s just think do you absolutely need dating as your fundamental requirement? If yes, OK. Gue salut sekali dengan lo yang mau jawab ya. Tapi gue kasih lo tantangan. Tanyakan hal ini terlebih dahulu kepada diri lo :
-Sanggupkah lo yang sudah menjadikan pacaran sebagai kebutuhan tadi tidak sekaligus menjadikannya juga dalih untuk mengingkari kebutuhan/kewajiban lain yang sama penting/fundamental/mendasar bagi hidup lo?
-Sanggupkah lo menghentikan sms-an sama pacar lo pada hingga larut malam ketika esok harinya lo harus menghadapi ulangan dalam rangka belajar?
-Sanggupkah lo (bagi yang Muslim) memberhentikan pembicaraan sejenak dengannya dan segera mengangkat kaki mengambil wudhu ketika lo mendengar adzan berkumandang?
-Sanggupkah lo segera merespon terhadap panggilan permintaan tolong orang tua ketika pacar lo sedang membicarakan suatu hal di telepon?
-Sanggupkah lo bersikap objektif terhadap sekitar termasuk pacar lo ketika pacar lo memang bersikap salah?
-Sanggupkah lo menahan diri dari keborosan ketika lo memiliki hal penting lain dalam hidup lo ketimbang untuk mengajak jalan pacar lo atau membelikan hadiah tanda sayang lo kepada dia?
-Sanggupkah lo jika akhirnya lo menerima kenyataan bahwa ia sama sekali tidak seperti apa yang lo harapkan?
Sanggup?
Sebelum lo menjawab ya dan melanjutkan membaca ke paragraf selanjutnya, gue menyarankan lo untuk lebih dahulu duduk termenung dan sungguh-sungguh membaca dan menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan di atas dengan hati nurani lo.
Bener-bener sanggup?
Kalau ya. OK! Good! That means lo bener-bener manusia yang dapat menjaga komitmen baik dengan Tuhan lo, orang tua lo, orang-orang sekitar lo, dan juga pacar lo. Dan gue percaya hidup lo akan tenang dan tentram selama lo masih benar-benar berpegang pada jawaban “ya” lo tadi.
Tapi kalau satu saja di antara pertanyaan tersebut masih belum bisa lo jawab atau tekuni… Guys, stop! Jangan jadikan pacaran sebagai kebutuhan lo apalagi obsesi lo. Seperti apa yang banyak orang katakan : “Di atas langit, masih ada langit yang lain.” Begitu juga dengan pacaran. Di samping pacaran masih ada kebutuhan lainnya yang lebih penting untuk dieksekusi. No one wants to be hurt, therefore you need to think about the other things like I said before. Are you ready to be neglected, dumped, or heartbroken? Those do superbly hurt, but the most hurting feeling is, are you ready to lose?
At the end of the day, semuanya kembali ke diri lo. Pacaran tidak hanya sebagai ajang untuk medapatkan sebuah kebanggaan atau menjadikannya sebagai sebuah kebutuhan di saat lo masih belum bisa menyeimbangkannya serta mengukur hal lain secara bijak. Gue di sini bukan untuk bercerita pada lo bagaimana indahnya berpacaran. Lo semua gue yakin mampu menarik sebuah kesimpulan menarik dan deskripsi baik mengenai pacaran. Tapi gue di sini untuk memberikan lo sudut pandang, then again if you’re definitely sure and ready  for all the joy and risk about doing this, why not? Gunakan masa remaja kalian dengan sebaik mungkin. karena masa ini ialah masa tersingkat dari pembagian masa hidup manusia. Lo gak mau menyesal kan kaya Einstein setelah tahu bom atomnya malah digunakan untuk perang melawan kemanusiaan sehingga Hiroshima dan Nagasaki baru bisa pulih setelah 25 tahun? Lo gak mau bunuh diri kaya Hitler kan gara-gara penyebaran kultus Nazi-nya yang berakhir dengan kalahnya Jerman di Perang Dunia II? Kalau jawaban dari kedua pertanyaan tadi ya, mulailah menciptakan sebuah pilihan yang berprospek serta membawa kebahagiaan pada diri lo dalam jangka waktu panjang. Karena gue yakin, suatu hari nanti lo akan bangun di pagi hari dan menemukan diri lo dalam sebuah kebimbangan. Di samping lo terdapat tanda tanya besar, menggantung di setiap langkah yang lo jalani. “Why am I doing this to myself?” Let me tell you something, my friends. You really can not change who you were and what happened to you. But you have that choice to choose whom you would like to be. Whether the one who someday will be memorized as an angel, or that one who’s just another shit for your society. You’ve always had those choices. They’re always there. Always... And it’s your duty to walk and do it!



Indramayu, 31 Juli 2013
Bagas Adika Putra