I
was a 16 years old when I wrote this, dan dapat dikatakan gue telah mengalami
beberapa cerita kehidupan yang membuat gue belajar mengenai pacaran. Pacaran,
bagi sebagian besar remaja hal ini lumrah dan maklum untuk dilakukan. Malah
banyak yang mengatakan (termasuk gue) untuk mencoba mengeksplorasi diri lo
ketika lo berada dalam situasi yang menuntut lo harus memiliki perhatian khusus
kepada orang lain. Di sini gue gak akan menulis sesuatu yang bersifat
persuatif, dalam artian mengajak kalian untuk sama sekali menolak pacaran. Tapi
gue mencoba untuk memberi cerita dan mungkin perspektif gue. Gue bukan tipe
orang yang ekstremis dan konservatif alias orang yang menganggap norma lama
harus benar-benar dijaga utuh. No, gue malah menyarankan bagi lo-lo semua yang
baca tulisan gue ini untuk terjun langsung serta merasakan manis, asam, asinnya
pacaran because time changes, and so do the rules and norms. Rugi, kalau lo
menyia-nyiakan kesempatan ini di kala produksi hormon lo sedang dalam
puncaknya. Tapi satu hal yang harus lo ingat, dating basically is like a
gamble. This could be amusing, this also at the same time could be a
catastrophic disaster which leaves a giant hole of scar in your heart that you
regret for the rest of your lives. But you’ll never know, right? That is why,
I’m just going to express a little of my thoughts.
Fact
: 22 of 31 students in my class are not in the state of “single”. That’s 72
percents! I mean, come on! Itu lebih dari setengahnya. Implementasi dari hal
tersebut dapat diamati dari beberapa interaksi yang rutin dilakukan. Ketika jam
istirahat di kelas gue, pasti ada satu atau dua anak yang kedatangan tamu. Dan
tamu itu tak lain ialah pacar mereka dari kelas lain. Gak cuma itu beberapa
dari mereka sibuk membalas tweet, sms, atau komentar gebetan yang kebetulan
nimbrung begitu saja ketika mereka update di jejaring sosial. Buat yang cowok,
ada yang sangat peka terhadap bel istirahat. Jadi waktu bel berbunyi,
syaraf-syaraf mereka sudah terkoordinasi untuk segera melangkahkan kaki keluar
dari kelas dan berlabuh ke kelas tempat sang biduan berada. Gue sebagai salah
satu yang “vacant” Cuma bisa senyam-senyum sendiri melihat dinamika remaja saat
ini. It’s good to have somebody who cares about you. It’s even better to have
somebody who says : “You don’t need to change anything. I love you the way you
are.” Well, kenyataan bahwa gue gak bisa mendapatkan keduanya untuk saat ini,
tidak membuat gue kebakaran jenggot. Gue hampir telah menginjak tahun kedua di
mana gue tidak memiliki hubungan spesial dengan siapapun. It doesn’t matter.
I’m still capable to stand on my own two feet. I’m fine with this condition and
the most important I am enjoying every single second of my heart’s vacancy. Gue
merasa baik-baik saja dengan kehidupan dan keadaan gue. Namun seiring waktu
bergulir, gue semakin heran kenapa pacaran di kaum remaja telah menjadi epidemi
layaknya kolera di Afrika? Jawabannya cukup sederhana. Bayangin buat lo yang
punya indung telur serta rahim, setiap lo istirahat, ada temen cewek lo dengan
random-nya cerita tentang bagaimana hubungannya sukses setelah anniversary-nya
yang kedua dengan si pujaan hatinya. Bukan sekali atau dua kali, tapi 6 hari
dalam seminggu. Well, I know how it feels. At first yang ada di pikiran lo :
“Ok, selamat yaaa!”. Hari kedua : “Hmmm, ya ya ya. Good to know that”. Hari
kesepuluh : “Can you please shut up and save that story to those who are
available to listen your Cinderella fairytale?”. Dan hari keduapuluh : “Screw
you! I shall find a boy, a very very eligible, good, handsome boy! And my
relation is going to be way more fantastic than yours!”
Itu
kira-kira gambaran dari apa yang dipikirkan seorang cewek. Beda halnya dengan
para cowok. Kita cenderung menerima informasi dan hanya menyampaikan pendapat
serta komentar ketika diperlukan. Tapi kalau lo, para calon ayah setiap hari
mendengar cerita yang sama dari teman lo, gue jamin lo juga akan end up
thinking like apa yang cewek-cewek pikirin pada umumnya tadi. Bagi gue, itu hal
yang halal dan asal tidak menimbulkan demoralisasi sosial. Sampai pada akhirnya
temen deket cowok gue sendiri pun bilang ke gue : “Gas, taruhan yuk. Siapa yang
duluan bisa dapetin cewek dalam waktu seminggu dari sekarang, bakal dibayarin
makan di kantin selama sebulan sama yang kalah.” Dan gue instan memasang wajah
“what the f**k have you just said?”. Gue cuma mlongo dan neuron ke cerebrum gue
terjebak kemacetan parah bak jam pulang kerja di Bundaran Hotel Indonesia. Saat
itu gue sontak agak lama menyadari kalau temen gue itu bener-bener serius
hingga dia menjentikan jarinya di depan wajah gue yang masih mengernyitkan
dahi. I’m still thinking, has dating in teenagers’ lives become a trend like
Manolo Blahnik or Louboutin shoes for socialites? At that moment I couldn’t
help but think why do you want to be in a relationship so easily that you don’t
think of the possibility and probability of being neglected, dumped, and
heartbroken?
Here’s
the thing, di masa-masa remaja seperti yang gue sedang pijak, getting a true
love is like hoping for the totality and hard work from anggota DPR RI.
Perbandingan antara orang-orang yang bener-bener punya their true loves sama
yang di kala putus bilang : “You’re a jerk” jelas lebih banyak yang kedua.
Remaja cenderung berpacaran untuk menenangkan diri ketika mereka berada di
dalam kelabilan. They and I are just want to be rescued. And that is why,untuk
membunuh rasa penasaran gue, gue yang sebenarnya punya tugas membaca novel A
Farewell to Arms oleh Ernest Hemingway, menyempatkan diri untuk berkeliling
kelas menanyakan pertanyaan sederhana, namun kompleks : “Kenapa lo mau
pacaran?”. Dan tentu gue tidak mengutarakan pertanyaan tersebut secara
eksplisit. Adalah sangat tinggi kemungkinan gue mendapatkan jawaban : “Lu kok
kepo sih sama urusan orang?” dengan raut muka kesal teman gue jika gue bertanya
dengan cara tersebut. Gue sebisa mungkin mencoba untuk berbasa-basi sebagai
pengantar. Setelah dua tiga hari, gue berhasil memperoleh jawaban dari ke-dua
puluh dua orang teman sekelas gue yang berkekasih. Inilah beberapa di antara
jawaban mereka :
“Saya
sih cuma buat status doang, Gas. Ya, biar gak terlalu
sendiri gitulah.”
Selanjutnya,
“Buat
pengalamanlah , Gas. Gue pasti ngarepin gue sama cewek gue bakal langgeng sampai
gue tua. Tapi kalau enggak, ya seenggaknya gue udah punya pengalaman buat
gimana harus bertindak waktu pacar gue selanjutnya ngelakuin hal yang sama kaya
mantan gue.”
An
acceptable reason by the way. Next…
“Biar
ada yang merhatiin. Jadi ada yang ngingetin buat mandi, makan, solat, sama
belajar.”
Nah,
alasan ini agak aneh buat gue. Bukannya semua itu masih termasuk dalam fungsi
dari memo atau reminder di gadget kalian? Kalau itu hanya yang menjadi pondasi
hubungan kalian, kenapa kalian harus menghabiskan sedemikian daya untuk
meladeni sms, telpon, atau jalan sama dia? Dan uang serta tabungan kalian untuk
pulsa, hadiah, traktiran, atau memperelok diri kalian padahal ada sesuatu yang
lebih sederhana ketimbang menjalani pacaran dengan tujuan minta diingatkan?
Okay, yang berikutnya…
“Untuk
kebangganlah, Gas. Orang yang pacaran itu bisa dapetin pengakuan yang lebih
daripada yang enggak”
WHAT?
Untuk yang satu ini gue bener-bener tidak bisa menerima. Pernyataan dari temen
gue tersebut seakan-akan menyiratkan bahwa kaum “single” adalah kaum dengan
kusta pada abad pertengahan : tersingkir dan hina. Gue sempat adu mulut dengan
teman gue yang satu ini, dan dia dengan mudahnya mengeluarkan argumen
merendahkan bagi orang yang tidak berpacaran. Ya, I know Tuhan itu Mahaadil.
Gak gue minta, ada tiga temen cewek di kelas gue yang membantah pernyataan
tersebut. Gue langsung memperlihatkan muka “Yeah! Go on! Deal with girls!”. Debat
antara satu cowok dengan satu cewek saja sangat besar dimenangkan oleh si
cewek, apalagi debat antara satu cowok dengan tiga cewek. Yeah, we all know how
it’s gonna be. The point is, we (the single ones) are human with feelings,
conscious, and self integrity. We are not the dogs which lick the masters’ toes
right after they go home. So, in this modern world, my friend, we are not
necessary to jump into a relationship in order to gain a pride. You can now
begin an observation in the development of HIV vaccine. That is nobler, and if
you truly create it, you’ll get an extra Noble. See? We’re moving…
“Pacaran
bagi gue itu sebuah kebutuhan, Gas. Kalau kamu tanya kenapa, ya gak tahu.
Pokoknya itu udah jadi kebutuhan aja buat saya.”
THIS.
This totally stopped me. Not only successfully jaw-dropped me, it really did
make me shout “WHAT?”. Ini pernyataan yang lebih buat neuron gue macet untuk
saling bertransmisi. Gue mendadak berubah menjadi patung cepot yang mangap
selama hampir 5 detik. This was worse than the moment when my friend urged me
to do a bet with him. Pacaran = Kebutuhan? What’s wrong with you? Isn’t there
anything in the entire world to do besides having a relationship? Gue masih
dapat menerima hal tersebut kalau mungkin pacaran termasuk ke dalam kebutuhan
yang tidak terlalu diprioritaskan. Namun, gue mendapat jawaban yang lebih
menakjubkan lagi kala gue bertanya seberapa pentingkah kebutuhan tersebut
kepada teman gue. Lagi, gue tercengang saat dia mengatakan bahwa kebutuhan akan
pacaran sama pentingnya dengan kebutuhan akan makan nasi setiap harinya. Gue
gak habis pikir dengan hal ini. How come a relationship becomes so equal to
your primary requirement of food for teenagers?
Teman-teman pembaca yang masih harus merayu
orang tua atau kakak lo untuk memberi uang jajan lebih atau bahkan yang masih
dibangunkan pada pagi hari, let’s just think do you absolutely need dating as
your fundamental requirement? If yes, OK. Gue salut sekali dengan lo yang mau
jawab ya. Tapi gue kasih lo tantangan. Tanyakan hal ini terlebih dahulu kepada
diri lo :
-Sanggupkah
lo yang sudah menjadikan pacaran sebagai kebutuhan tadi tidak sekaligus
menjadikannya juga dalih untuk mengingkari kebutuhan/kewajiban lain yang sama
penting/fundamental/mendasar bagi hidup lo?
-Sanggupkah
lo menghentikan sms-an sama pacar lo pada hingga larut malam ketika esok
harinya lo harus menghadapi ulangan dalam rangka belajar?
-Sanggupkah
lo (bagi yang Muslim) memberhentikan pembicaraan sejenak dengannya dan segera
mengangkat kaki mengambil wudhu ketika lo mendengar adzan berkumandang?
-Sanggupkah
lo segera merespon terhadap panggilan permintaan tolong orang tua ketika pacar
lo sedang membicarakan suatu hal di telepon?
-Sanggupkah
lo bersikap objektif terhadap sekitar termasuk pacar lo ketika pacar lo memang
bersikap salah?
-Sanggupkah
lo menahan diri dari keborosan ketika lo memiliki hal penting lain dalam hidup
lo ketimbang untuk mengajak jalan pacar lo atau membelikan hadiah tanda sayang
lo kepada dia?
-Sanggupkah
lo jika akhirnya lo menerima kenyataan bahwa ia sama sekali tidak seperti apa
yang lo harapkan?
Sanggup?
Sebelum
lo menjawab ya dan melanjutkan membaca ke paragraf selanjutnya, gue menyarankan
lo untuk lebih dahulu duduk termenung dan sungguh-sungguh membaca dan menjawab
kembali pertanyaan-pertanyaan di atas dengan hati nurani lo.
Bener-bener
sanggup?
Kalau
ya. OK! Good! That means lo bener-bener manusia yang dapat menjaga komitmen
baik dengan Tuhan lo, orang tua lo, orang-orang sekitar lo, dan juga pacar lo.
Dan gue percaya hidup lo akan tenang dan tentram selama lo masih benar-benar
berpegang pada jawaban “ya” lo tadi.
Tapi
kalau satu saja di antara pertanyaan tersebut masih belum bisa lo jawab atau tekuni…
Guys, stop! Jangan jadikan pacaran sebagai kebutuhan lo apalagi obsesi lo. Seperti
apa yang banyak orang katakan : “Di atas langit, masih ada langit yang lain.”
Begitu juga dengan pacaran. Di samping pacaran masih ada kebutuhan lainnya yang
lebih penting untuk dieksekusi. No one wants to be hurt, therefore you need to
think about the other things like I said before. Are you ready to be neglected,
dumped, or heartbroken? Those do superbly hurt, but the most hurting feeling
is, are you ready to lose?
At
the end of the day, semuanya kembali ke diri lo. Pacaran tidak hanya sebagai
ajang untuk medapatkan sebuah kebanggaan atau menjadikannya sebagai sebuah
kebutuhan di saat lo masih belum bisa menyeimbangkannya serta mengukur hal lain
secara bijak. Gue di sini bukan untuk bercerita pada lo bagaimana indahnya
berpacaran. Lo semua gue yakin mampu menarik sebuah kesimpulan menarik dan
deskripsi baik mengenai pacaran. Tapi gue di sini untuk memberikan lo sudut
pandang, then again if you’re definitely sure and ready for all the joy and risk about doing this,
why not? Gunakan masa remaja kalian dengan sebaik mungkin. karena masa ini
ialah masa tersingkat dari pembagian masa hidup manusia. Lo gak mau menyesal
kan kaya Einstein setelah tahu bom atomnya malah digunakan untuk perang melawan
kemanusiaan sehingga Hiroshima dan Nagasaki baru bisa pulih setelah 25 tahun?
Lo gak mau bunuh diri kaya Hitler kan gara-gara penyebaran kultus Nazi-nya yang
berakhir dengan kalahnya Jerman di Perang Dunia II? Kalau jawaban dari kedua
pertanyaan tadi ya, mulailah menciptakan sebuah
pilihan yang berprospek serta membawa kebahagiaan pada diri lo dalam jangka
waktu panjang. Karena gue yakin, suatu hari nanti lo akan bangun di pagi hari
dan menemukan diri lo dalam sebuah kebimbangan. Di samping lo terdapat tanda
tanya besar, menggantung di setiap langkah yang lo jalani. “Why am I doing this
to myself?” Let me tell you something, my friends. You really can not change
who you were and what happened to you. But you have that choice to choose whom
you would like to be. Whether the one who someday will be memorized as an angel,
or that one who’s just another shit for your society. You’ve always had those
choices. They’re always there. Always... And it’s your duty to walk and do it!
Indramayu, 31 Juli 2013
Bagas Adika Putra